Pages

Jumat, 07 Mei 2010

GURU YANG SESUNGGUHNYA IKUT MENANGIS

Oleh : Masmariah

Berangkat dari sebuah pertanyaan: “Siapakah yang patut disalahkan atas kebobrokan moralitas generasi bangsa pada masa pancaroba ini?”

Sungguh sebuah keprihatinan yang mengiris hati sanubari bagi orang-orang yang merindukan keluhuran moralitas, akhlak dan harga diri yang bernilai bagi kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Betapapun kemajuan teknologi yang begitu cepat dalam berbagai hal, bukan berarti malah menjadikan kemajuan itu sebagai senjata yang meracuni perilaku dan akhlak generasi bangsa ke arah negatif, atau mungkin sengaja membiarkan sebuah arus negatif yang akan membawa mereka kepada kehancuran.


Tidaklah demikian, bagi orang yang mengerti dan memahami esensi modernisasi zaman. Sudah seyogyanya mereka mampu menela’ah secara kritis pengaruh positif dan negatifnya, sehingga pada akhirnya diharapkan mampu untuk mem-back up krisis multi dimensi di kalangan generasi bangsa.

Mari kita telusuri bersama, apa yang menjadi akar permasalahan sehingga bangsa ini belum mampu untuk mewariskan generasi bangsa yang unggul, yang bermental kuat iman dan fisiknya, yang cerdas, terdidik dan berintelektual tinggi, generasi bangsa yang jauh dari sikap berleha-leha melainkan senantiasa bekerja keras, terampil, produktif, aktif, dan inovatif, generasi bangsa yang mandiri , kritis dan memiliki sikap dewasa dalam menyikapi segala hal, generasi bangsa yang bangga akan keagungan jati diri bangsanya, menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan akhlak.

Inilah yang semestinya kita perjuangkan bersama, untuk mengestafetakan perjuangan untuk perubahan nasib generasi bangsa. Adapun hal-hal yang harus kita kritisi bersama atas terjadinya kebobrokan moralotas generasi bangsa ini:

1. Tidak adanya perhatian yang khusus pada pendidikan.

Pendidikan adalah pondasi dasar utnuk membangun sebuah peradaban di dunia ini, semua itu terbukti dari masa yang silam sejarah perkembangan pendidikan telah mampu memberikan jaminan untuk menghantarkan manusia pada kehidupan yang lebih baik. Mari kita sadari, pendidikan adalah tanggung jawab bersama, yang seharusnya diberikan perhatian khusus dari semua unit di negeri ini, bukan hanya sekedar dititikberatkan pada lembaga pendidikan formal dan guru saja, yang dianggapnya memiliki peranan penting untuk membentuk generasi bangsa. Tetapi kita pun tidak bisa menafikan bahwa sebuah lembaga pendidikan dan guru memiliki keterbatasan dalam hal itu. Agar pendidikan mampu bergerak secara optimal, maka keterlibatan semua komponen haruslah terjalin, baik itu dari keluarga, lembaga pendidikan formal, masyarakat dan pemerintah.

Contoh utamanya adalah komponen keluarga. Komponen inilah yang paling berperan, sehingga dituntut memiliki kepekaan kontrol dalam mengawasi pergaulan anaknya:

Dalam hal ini Dadang Hawari mengemukakan, “ Perubahan-perubahan yang begitu cepat sebagai konsekuensi globalilsasi, modernisasi, industrialisasi, dan iptek telah mengakibatkan perubahan pada nilai-nilai kehidupan social dan budaya. Perubahan itu antara lain pada nilai moral, etika, kaidah agama, dan pendidikan anak dirumah, pergaulan dan perkawinan, perubahan ini muncul karena pada masyarakat modern telah terjadi pergeseran pola hidup yang semula bercorak social religius ke pola individual, matrealistis dan sekuler. Salah satu dampak perubahan itu adalah terancamnya lembaga perkawinan yang merupakan lembaga pendidikan dini bagi anak dan remaja. Dalam masyarakat modern, telah terjadi perubahan dalam mendidik anak dan remaja dalam keluarga, misalnya orangtua banyak memberikan kelonggaran dan serba boleh pada anak. Demikian pula pola hidup konsumtif telah mewarnai kehidupan anak, yang damapaknya adalah kenakalan remaja, penggunaan narkoba, alcohol dan zat aditif lainnya. “

Di sisi lain, komponen pemerintah, penegak hukum, para pakar di bidang media, budaya, seni dan tokoh masyarakat sudah sewajibnya memberikan corak warna yang mempesona kepada generasi bangsa dengan pendidikan sehingga virus kebobrokan moralitas generasi bangsa ini bisa teratasi.

2. Konsep pendidikan yang melupakan jati diri bangsa.

Hal ini seringkali kita lupakan : sebuah pembentukan generasi bangsa yang memiliki jati diri bangsanya sendiri , melalui jalan konsep pendidikan. Hal ini seharusnya mampu mewarnai para generasi bangsa yang diarahkan pada kemajuan intelektual yang memiliki kesadaran penuh untuk membangun dan membesarkan nama bangsanya sendiri. Akan tetapi semuanya itu pudar terbawa arus gelombang kelonggaran dan kebiasan dalam menentukan konsep pendidikan di negeri ini sehingga para generasi unggulan yang bisa diharapkan malah beralih, menjauh dan meninggalkan kekhasan jati diri bangsa sendiri. Dan pada akhirnya muncul produk-produk manusia tanpa jati diri.

3. Pendidikan yang dikomersilkan.

Nun jauh disana kita sebagai rakyat biasa seringkali terjebak dengan keindahan bahasa dari para penguasa mengenai peningkatan kualitas mutu pendidikan yang tidak terhingga mahalnya, mulai dari jenjang terendah hingga jenjang teratas. Hal ini membuat rakyat biasa merasa tertekan dan frustasi untuk menyeimbangkan kebijakan penguasa yang tidak terarah.

Bukankah pndidikan itu infestasi masa depan? Yang bisa menjamin kemajuan sumber daya negeri ini? Namun faktanya, jalan untuk menempuh itu, pendidikan selalu dikomersilkan, yang mengakibatkan sistem pendidikan rusak.

4. Metode pembelajaran hanya sekedar transfer ilmu

Dalam proses kegiatan belajar mengajar seorang guru ataupun dosen memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik. Bukan hanya sekedar transfer ilmu, namun hendaknya diupayakan transfer ilmu itu membekas pada pengamalan.

5. Lunturnya pribadi guru dari jiwa kharismatik.

Jika kita ambil perbandingan peran guru di masa kini dengan masa dulu, ada sebuah pergeseran peran yang cukup jauh, mengapa hal ini bisa terjadi? Dulu, guru mampu beperan sebagai pengganti orangtua disertai memberikan pengajaran dengan penuh perhatian, perjuangan, pengorbanan, kesungguh-sungguhan, dengan do’a , cinta dan keikhlasan, jiwa keteladanan, sehingga mampu menghujamkan pengaruh yang luar biasa ke pribadi-pribadi anak didiknya. Saat itu guru dipandang sebagai sosok yang harus digugu dan ditiru, dimuliakan dan dihormati. Memang seharusnya seperti itulah cerminan seorang guru yang memiliki jiwa kharismatik dan tanggung jawab terhadap amanah yang diembannya.

Sebagai pertanyaan, “ masih melekatkah jiwa kharismatik didalam pribadi guru masa kini?” jika masih, seberapa jauhkah mata hati meninjau kondisi generasi bangsa yang sat ini terlihat carut-marut, kebobrokan para pelajar begitu terlihat jelas, nilai2 agama disepelekan, tata krama dan sopan santun dalam bersikap dianggap sebagai sesuatuyang norak, kebebasan sex sudah menjadi kewajaran, munculnya kebrutalan di kalangan pelajar, gaya hidup hedonis dan kelemahan akal serta mental membentuk generasi yang mudah frustasi, enggan belajar keras untuk meraih kelulusan karena bertumpu pada finansial.

Sejauh manakah guru masa kini menyikapi masalah ini?

Sejauh manakah esensi pengajaran yang telah disampaikan?

Seorang guru yang bijak akan membuang jauh sifat apriorinya dan berkata dari lubuk hati yang terdalamnya “ ini adalah sebuah kelalaian yang berlarut-larut, yang tidak bisa dibenahi dalam waktu yang singkat.” Atas ketidakberdayaan, guru yang sesungguhnya turut menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar